Jumat, 01 Juli 2011

Budaya Tengger Terancam Punah

Budaya Tengger dinilai terancam punah. Penyebabnya, tak sedikit kaum muda Tengger banyak berpenampilan gaul, dan meninggalkan budaya yang diwariskan para leluhur.
Kekhawatiran itu disampaikan Prof DR Iwan Nugroho, seorang peneliti yang juga wakil Rektor Universitas Widyagama Malang, Jawa Timur, Senin (13/6/2011), di Malang, kepada Kompas.com, usai mengisi diskusi tentang Budaya Tengger, bersama 17 tokoh warga Tengger.

"Tak sedikit pemuda generasi warga Tengger sudah berpenampilan gaul. Hal itu bukan hanya dirasakan nonwarga Tengger, tetapi oleh warga terutama para tokoh yang dikagumi di warga Tengger," katanya.
Iwan menjelaskan, para orang tua tak lagi menanamkan budaya dan tradisi Tengger kepada generasi selanjutnya. "Selain itu, generasi muda tak lagi menganggap bahwa budaya yang diwarisi leluhurnya itu, layak untuk dirinya," katanya.

Antisipasinya, kata Iwan, sejak dini para orang tua harus menanamkan tradisi atau budaya yang menjadi kekuatan warga Tengger. "Walaupun anak-anaknya menempuh pendidikan ke kota, tak harus meninggalkan budaya yang menjadi warisan nenek moyangnya,".

Peninggalan Purbakala Maanyan

1.Di kota Banjarmasin terdapat peninggalan purbakala orang Ma'anyan :
  • a. Sebuah tonggak kayu yang dinamakan "Hujung Panti", gunanya ialah tempat orang Ma'anyan kuno memandikan anak untuk pertama kalinya disungai yang disebut Mubur Walenon. Tonggak kayu itu dipakai hingga abad ke-14, terletak disebelah barat laut kota Banjarmasin.

  • b. Di km 3, masuk sejauh 800 m kekiri jalan arah ke kota Martapura, terdapat sebuah tempat dinamakan Pangambangan. Pada daerah seluas 1 ha, terdapat permukaan tanah yang bersih, karena tidak terdapat satupun pepohonan yang bisa tumbuh. Diduga disitulah tempatpemukiman orang Ma'anyan yang pertama yang dipercaya oleh mereka, sebagai bekasbangunan Balai-Adat hingga abad ke-16.

2. Kebun buah-buahan yang dinamakan Pulau Banyar Kayutangi, tempat pemukiman orang Ma'anyan hingga awal abad ke-16. Disini masih terdapat tiang-tiang bekas rumah kuno, terbuat dari kayu besi yang masih tersisa sampai sekarang, terletak 24 km dari kota Banjarmasin ke arah lapangan terbang Syamsuddin Noor.

3. Tempat ditemukan Balontang dan makam kuno dari kayu besi terletak di Liang Anggang. Balontang dalam adat orang Ma'anyan adalah sebagai simbolis arwah orang sudah meninggal yang diadakan pesta adat secara sempurna.

4. Gunung Paramaton atau gunung Madu_manyan, tempat penyimpanan pusaka kerajaan Nansarunai, sesudah dapat dirampas kembali dari Tanjung Negara, atau Banjarmasin pada tahun 1362.

5. Di kota Martapura terdapat Balontang dan sumur kuno yang dinamakan sumur pahit, peninggalan orang Ma'anyan hingga abad ke-14. Sewaktu penggalian saluran pengairan dari waduk Riam Kanan ke arah Banjar Baru terdapat kuburan kuno orang Ma'anyan yang dipakai hingga abad ke-16.

6. Disuatu tempat didaerah Burung-Lapas; di km 24 dari Martapura ke arah Rantau, 150 m kanan jalan antara Martapura dan Binuang terdapat sebuah gua dan tanah yang sedikit ditumbuhi pepohonan. Diduga tempat itu adalah bekas pemukiman yang disebut Nansarunai hingga abad ke-13, dan belum mengenal pemerintahan raja. Sesudah Nansarunai dipindahkan ke Banua Lawas baru timbul pemerintahan dalam bentuk kerajaan serta lahirnya hukum adat yang dipakai oleh orang Ma'anyan hingga sekarang.

Atraksi Lumba-lumba di Teluk Kiluan

Salah satu kekhasan Teluk Kiluan adalah atraksi lumba-lumba di laut lepas.. Pengunjung bisa menikmati keindahan tarian lumba-lumba dengan naik perahu ke arah Samudera. Ada dua jenis lumba-lumba di perairan ini. Spesies pertama adalah lumba-lumba hidung botol (Tursiops Truncatus) dengan badan lebih besar, berwarna abu-abu, dan pemalu. Spesies kedua adalah lumba-lumba paruh panjang (Stenella Longirostris) dengan tubuh lebih kecil dan senang melompat. Namun lumba-lumba tersebut jumlahnya makin lama makin turun karena perburuan manusia.

Kedua jenis lumba-lumba itu cukup akrab dengan manusia. Lumba-lumba senang mendekati perahu atau kapal yang tengah melintas di laut. Dari jauh, sirip lumba-lumba itu mirip antena kapal selam. Setelah dekat, lumba-lumba pun berloncatan, bergantian menyelam, timbul tenggelam, hampir tidak ada jarak dengan perahu. Mereka seolah berlomba menunjukkan diri kepada manusia dan mudah disentuh. Lumba-lumba itu tampak sangat menggemaskan, ingin rasanya memeluk dan menciumi mereka.

Menurut Ketua Yayasan Ekowisata Cikal, Riko Stefanus, atraksi lumba-lumba di Teluk Kiluan merupakan salah satu kekayaan alam dengan nilai jual wisata. Lumba-lumba di Teluk Kiluan tersebar di beberapa lokasi, antara lain Lengkalit, Teluk Bera, Pulau Legundi, Pulau Rakata, Pulau Tabuan, dan Pulau Hiu.

Sejarah Kain Tapis Lampung

Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat. Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang lampung telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad II masehi. 

Motif kain ini ialah kait dan konci (Key and Rhomboid shape), pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh. Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolithikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia. Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini. 

Walaupun unsur baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan. Adanya komunikasi dan lalu lintas antar kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan jaman bahari sudah mulai berkembang sejak jaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara tahun 1500 1700.

Kehilangan Penerus, Wayang Palembang Punah

Kesenian tradisional wayang kulit Palembang, Sumatera Selatan, sekarang ini sudah punah karena tidak ada lagi generasi baru yang meneruskannya. Para dalang tua yang menguasai wayang dengan dialog berbahasa khas Melayu Palembang itu sudah tiada lagi. Sementara pemerintah dan lembaga kebudayaan tidak memiliki agenda konkret untuk melestarikan kekayaan tradisi itu.  Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) R Amin Prabowo mengatakan, generasi muda tidak berminat untuk menekuni seni tradisi wayang Palembang karena dinilai kurang menarik, ketinggalan zaman, tidak menjanjikan penghasilan yang layak, serta kurang diapresiasi publik.
 
Wayang Palembang, yang diperkirakan tumbuh sejak pertengahan abad ke-19 Masehi, memiliki bentuk fisik dan sumber cerita yang sama dengan wayang purwa dari Jawa. Bedanya, wayang Palembang dimainkan dengan menggunakan bahasa Melayu Palembang, dan perilaku tokoh-tokohnya lebih bebas. Adapun wayang purwa menggunakan bahasa Jawa dan perwatakan tokohnya ketat dengan pakem-pakem klasik.
Kondisi wayang Palembang memang hampir mati. Pihaknya akan berusaha melestarikan dengan cara menyelamatkan aset- aset peninggalan wayang itu dalam museum. Jika sudah didukung dalang ahli, wayang tradisional itu akan dihidupkan kembali dengan melakukan pelatihan bagi yang berminat.

Upacara Adat Pasola Sumba1

Pada bulan Juni ini batavusqu berniat menghimpun serangkaian upacara adat yang ditebar para sahabat daerah, para blogger  yang telah mengangkat citra daerahnya agar lebih populer. Banyaknya suku adat yang terdaftar di negeri ini menjadikan bangsa Indonesia bangsa yang paling kaya dengan budaya. Hampir setiap provinsi memiliki 3 sampai 4 bahkan lebih tradisi yang menarik selain tradisi adat pernikahan. 

Seperti postingan batavusqu sebelumnya tentang upacara adat rambu solo, ngaben, rambut gimbal, malam 1 Syuro, dan yang lainnya adalah ciri khas kekayaan negeri yang harus selalu diangkat oleh para generasi muda agar tidak hilang ditelan zaman. Nah pada kesempatan ini perkenankan aqu mengangkat sebuah tradisi di kepulauan Sumba provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu upacara adat Pasola Sumba.

Upacara adat Pasola ini adalah bagian dari serangkaian upacara tradisionil yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu. Setiap tahun pada bulan Februari atau Maret serangkaian upacara adat ini dilakukan dalam rangka memohon restu para dewa agar supaya panen tahun tersebut berhasil dengan baik.

Puncak dari serangkaian upacara adat yang dilakukan beberapa hari sebelumnya adalah apa yang disebut pasola. Pasola adalah ‘perang-perangan’ yang dilakukan oleh dua kelompok berkuda. Setiap kelompok teridiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjakan tombak yang dibuat dari kayu berdiameter kira-kira1,5 cm yang ujungnya dibiarkan tumpul.

Walaupun tombak tersebut tumpul, pasola kadang-kadang memakan korban bahkan korban jiwa. Tapi tidak ada dendam dalam pasola, kalau masih penasaran silakan tunggu sampai pasola tahun depannya. Kalau ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah telah melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan.

Rumah Adat Yang Beradat

Apapun nama dan alasannya ketika sebuah bangunan etnik yang di bangun di kawasan anjungan budaya sebuah provinsi di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta.  Asumsi para pengunjung tetap akan melihat bangunan di anjungan tersebut sebagai rumah adat! Bagaimana dengan bangunan di anjungan Provinsi Bangka Belitung? Dalam sejarah budaya dan tradisi Bangka dan Belitung, kita tidak mengenal adanya rumah tradisi dan rumah adat bertingkat dua seperti layaknya rumah susun di abad modern! Ini betul-betul sebuah kebodohan terhadap pengetahuan sejarah budaya masyarakatnya atau pembodohan terhadap pengetahuan yang mesti diserap oleh generasi mendatang. “Pembodohan” ini lantas ditularkan kepada bangsa atau etnik lain ke seluruh Indonesia bahkan dunia; seolah-olah inilah rumah adat Bangka dan Belitung yang sekarang menyatu menjadi wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Dengan terbangunnya rumah dianjungan tersebut, dari konsepnya yang moderen (prototype dua tingkat atau berlantai dua) seolah-olah wilayah Bangka dan Belitung pada masa dahulu telah memilki kebudayaan yang super maju. Cobalah pelajari sejarah budaya peninggalan kerajaan-kerajaan besar di Indonesia seperti Mataram, Banten, Surakarta, Siak, Padang, Palembang dan lainnya tak ada rumah adatnya yang bertingkat dua seperti rumah susun.

Raja Ampat

Kepulauan Raja Ampat merupakan rangkaian empat gugusan pulau yang berdekatan dan berlokasi di barat bagian Kepala Burung (Vogelkoop)Pulau Papua. Secara administrasi, gugusan ini berada di bawah Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Kepulauan ini sekarang menjadi tujuan para penyelam yang tertarik akan keindahan pemandangan bawah lautnya. Empat gugusan pulau yang menjadi anggotanya dinamakan menurut empat pulau terbesarnya, yaitu Pulau Waigeo, Pulau Misool, Pulau Salawati, dan Pulau Batanta.

Asal-Usul
Asal mula nama Raja Ampat menurut mitos masyarakat setempat berasal dari seorang wanita yang menemukan tujuh telur. Empat butir di antaranya menetas menjadi empat orang pangeran yang berpisah dan masing-masing menjadi raja yang berkuasa di Waigeo, Salawati, Misool Timur dan Misool Barat. Sementara itu, tiga butir telur lainnya menjadi hantu, seorang wanita, dan sebuah batu.

Kekayaan SDA
Tim ahli dari Conservation International, The Nature Conservancy, dan Lembaga Oseanografi Nasional (LON) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI) pernah melakukan penilaian cepat pada 2001 dan 2002. Hasilnya, mereka mencatat di perairan ini terdapat lebih dari 540 jenis karang keras (75% dari total jenis di dunia), lebih dari 1.000 jenis ikan karang, 700 jenis moluska, dan catatan tertinggi bagi gonodactyloid stomatopod crustaceans. Ini menjadikan 75% spesies karang dunia berada di Raja Ampat. Tak satupun tempat dengan luas area yang sama memiliki jumlah spesies karang sebanyak ini.


Keadilan Menurut Masyarakat Kei

Dalam setiap masyarakat, adat dipahami sebagai seperangkat nilai-nilai dan peraturan-peraturan sosial yang timbul dan tumbuh dari pengalaman hidup masyarakat tersebut. Selama hidupnya, masyarakat itu mengalami aneka kejadian yang menggembirakan dan menyedihkan, serta yang memperkokoh dan merusak ketentraman. Pengalaman hidup masyarakat inilah yang menjadi sumber nilai-nilai adat. Oleh karena berpuluh-puluh  juta penghuni bumi Indonesia hidup dan bertempat tinggal di daerah masing-masing yang berbeda sifatnya, maka setiap golongan penduduk menciptakan tata-hidup yang sesuai dengan pengalaman dalam lingkungan alamnya. Atau dengan kata lain, setiap masyarakat mempunyai konsep tentang keadilan yang diterapkan secara internal.

Namun, setelah masyarakat tumbuh dan berkembang dalam hubungan antar warga, dan antara warga dan komunitas (masyarakat kecil), timbullah kekuatan-kekuatan sosial yang menguntungkan dan merugikan kehidupan bersama dalam komunitas itu. Dalam pemahaman seperti ini, Rawls kemudian mengemukakan, bahwa masyarakat adalah kumpulan individu yang di satu sisi mau bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kepentingan bersama, tetapi di sisi lain, masing-masing individu ini mempunyai pembawaan (modal dasar) serta hak yang berbeda, dan semua itu tidak bisa dilebur dalam kehidupan sosial. Persoalannya, bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan individu (modal dasar) itu di satu pihak, dan keinginan hidup bersama dipihak lainnya, agar terwujud kehidupan bersama yang berkeadilan? 

Jika mengikuti teori keadilan yang dikemukakan Rawls, maka setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan. Pertama, kebebasan yang sama atau setara (principle of equal libertiy), bahwa setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama, antara lain, a) kebebasan politik, b) kebebasan berfikir, c) kebebasan dari tindakan sewenang-wenang, d) kebebasan personal, dan e) kebebasan untuk memiliki kekayaan. Dan yang Kedua, prinsip ketidaksamaan (the principle of difference), bahwa ketidaksamaan yang ada di antara manusia, dalam bidang ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, sehingga ketidaksamaan tersebut, 1) dapat menguntungkan setiap orang, khususnya orang-orang yang secara kodrati tidak beruntung, dan 2) melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua orang. 

Asal Mula Nama Palembang

Pada zaman dahulu, daerah Sumatra Selatan dan sebagian Provinsi Jambi berupa hutan belantara yang unik dan indah. Puluhan sungai besar dan kecil yang berasal dari Bukit Barisan, pegunungan sekitar Gunung Dempo, dan Danau Ranau mengalir di wilayah itu. Maka, wilayah itu dikenal dengan nama Batanghari Sembilan. Sungai besar yang mengalir di wilayah itu di antaranya Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Rawas, dan beberapa sungai yang bermuara di Sungai Musi. Ada dua Sungai Musi yang bermuara di laut di daerah yang berdekatan, yaitu Sungai Musi yang melalui Palembang dan Sungai Musi Banyuasin agak di sebelah utara.



Karena banyak sungai besar, dataran rendah yang melingkar dari daerah Jambi, Sumatra Selatan, sampai Provinsi Lampung merupakan daerah yang banyak mempunyai danau kecil. Asal mula danau-danau kecil itu adalah rawa yang digenangi air laut saat pasang. Sedangkan kota Palembang yang dikenal sekarang menurut sejarah adalah sebuah pulau di Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bukit yang diberi nama Bukit Seguntang Mahameru.


Keunikan tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat dan banyaknya danau-danau kecil, dan aneka bunga yang tumbuh subur, sepanjang wilayah itu dihuni oleh seorang dewi bersama dayang-dayangnya. Dewi itu disebut Putri Kahyangan. Sebenarnya, dia bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan dayang-dayangnya itu mendiami hutan rimba raya, lereng, dan puncak Bukit Barisan serta kepulauan yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Mereka gemar datang ke daerah Batanghari Sembilan untuk bercengkerama dan mandi di danau, sungai yang jernih, atau pantai yang luas, landai, dan panjang.

Membangun Masa Depan Pekanbaru

Tanpa terasa, sebentar lagi, tepatnya 18 Mei 2011, masyarakat Kota Pekanbaru memilih Datuk Bandar Setia Amanah untuk melanjutkan kepemimpinan Drs H Herman Abdullah MM yang sudah dua periode menakhodai Kota Pekanbaru. Sebagian besar masyarakat menilai Herman Abdullah berhasil melaksanakan program keindahan, kebersihan dan keamanan, disingkat K-3. 

Bermodalkan program ini, ia berhasil mendapatkan Piala Adipura selama 10 kali berturut-turut serta beberapa penghargaan yang lain, sehingga kota ini mampu menjelma menjadi gadis cantik yang berhias dan menarik bagi semua warga kota maupun penduduk yang datang ke Kota Pekanbaru. Dalam artian, Pekanbaru berkembang menjadi kota metropolis yang berperadaban dan hampir tidak pernah terdengar warga kota yang tak makan karena semua merasakan makna pembangunan baik Gentakin, usaha simpan pinjam yang berada di kecamatan di Kota Pekanbaru. 

Sekarang, muncul pertanyaan, apakah hal ini bisa dipelihara seandainya Herman Abdullah sudah habis masa jabatan dan dilanjutkan dengan para penggantinya. Tulisan ini dibuat untuk menjawabnya. Jawabannya pasti bisa, asal siapapun pemimpin baik laki-laki maupun perempuan memimpin kota dengan semangat jihad. Dimana, melaksanakan apa yang dilarang oleh agama dan menjauhi secara konsekwen dan berkelanjutan. Tanpa itu maka mustahil prestasi dengan nilai 9,9 yang sudah diraih Herman Abdullah dan Erizal Muluk mustahil diulangi.

Kerajaan Malayu Muda Dharmasraya

Kerajaan Malayu adalah nama sebuah kerajaan yang pernah ada di Pulau Sumatra. Pada umumnya, kerajaan ini dibedakan atas dua periode, yaitu Kerajaan Malayu Tua pada abad ke-7 yang berpusat di Minanga Tamwan, dan Kerajaan Malayu Muda pada abad ke-13 yang berpusat di Dharmasraya.


Kerajaan Malayu Tua atau Malayu Kuno sering pula disebut dengan nama Kerajaan Malayu. Menurut tambo Minangkabau, Kerajaan Malayu didirikan oleh Sri Jayanaga yang turun dari gunung Marapi ke Minanga Tamwan sekitar tahun 603. Sedangkan Kerajaan Malayu Muda sering pula disebut dengan nama Kerajaan Dharmasraya. Dharmasraya didirikan oleh Sri Tribuana Raja Mauliwarmadewa yang masih seketurunan dengan Sri Jayanaga.


Sumber Berita Cina

Berita tentang Kerajaan Malayu antara lain diketahui dari kronik Cina berjudul T’ang-hui-yao karya Wang P’u. Disebutkan bahwa ada sebuah kerajaan bernama Mo-lo-yeu yang mengirim duta besar ke Cina pada tahun 644 atau 645. Pengiriman duta ini hanya berjalan sekali dan sesudah itu tidak terdengar lagi kabarnya.

Pendeta I Tsing dalam perjalanannya pada tahun 671685 menuju India juga sempat singgah di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat, Mo-lo-yeu masih berupa negeri merdeka, sedangkan ketika kembali ke Cina, Mo-lo-yeu telah menjadi jajahan Shih-li-fo-shih (ejaan Cina untuk Sriwijaya).


Menurut catatan I Tsing, negeri-negeri di Pulau Sumatra pada umumnya menganut agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Mo-lo-yeu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh Kerajaan Malayu.


Lokasi Malayu Tua

Dr. Rouffaer berpendapat bahwa ibu kota Kerajaan Malayu menjadi satu dengan pelabuhan Malayu, dan sama-sama terletak di Kota Jambi. Sedangkan menurut Ir. Moens, pelabuhan Malayu terletak di Kota Jambi, namun istananya terletak di Palembang. Sementara itu, Prof. George Coedes lebih yakin bahwa Palembang adalah ibu kota Kerajaan Sriwijaya, bukan ibu kota Malayu.


Prof. Slamet Muljana berpendapat lain. Istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sansekerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi.

http://mozaikminang.wordpress.com/2009/10/17/kerajaan-malayu-muda-dharmasraya/

Sejarah Belitung

Abad ke 7, Belitung masih belum ditandai adanya kekuasaan dari kerajaan mana pun. Kerajaan Sriwijaya pada masa itu hanya menanamkan kekuasaannya di Pulau Bangka dengan menancapkan sebuah Prasasti Kota Kapur, di pantai Bangka barat. Prasasti itu merupakan prasasti persumpahan hanya untuk menundukkan Bangka. 

Tahun 899, nama “Belitung” di kenal erat sekali dengan nama raja Mataram kuno, Maharaja Rakai Watukara Dyah Balitung dari dinasti sanjaya yang berkuasa di Jawa Tengah dan Timur antara tahun 899 hingga 910. Nama Dyah Balitung terpahat dalam 14 prasasti Jawa Kuno pada batu dan tembaga. Tahun 1293, Majapahit menguasai Bangka dan Belitung  maka nama Belitung tertulis dalam Syair Nagara Kartagama tahun 1365, ditulis oleh Mpu Prapanca. Pada tahun 1413 kedatangan Laksamana Cheng Ho dari China menyebutkan Belitung dalam catatan perjalanannya. Tahun 1436, Fei Hsin ahli sejarah China juga mencatat tentang Belitung.

Pada masa Majapahit, Belitung dipimpin oleh seorang panglima kerajaan yang disebut Rangga Yuda oleh penduduk disebut  Rangga Uda atau Ronggo Udo berkuasa di Badau. Raja ini memerintah sampai beberapa generasi dan tiap generasi rajanya tetap saja bergelar dengan sebutan Rangga Uda atau Ronggo Udo sampai turunan ke tiga atau raja terakhir tak memiliki keturunan laki-laki sebagai pewaris. Pada masa ini penduduknya masih memeluk Hindu dan menyembah berhala. Nampaknya riwayat “raja berekor” yang sekarang jadi legenda hidup di zaman ini.

Sekilas Budaya Sunda

Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. "Kegemilangan" kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda.

Kebudayaan Sunda yang ideal pun kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja-raja Sunda atau tokoh yang diidentikkan dengan raja Sunda. Dalam kaitan ini, jadilah sosok Prabu Siliwangi dijadikan sebagai tokoh panutan dan kebanggaan urang Sunda karena dimitoskan sebagai raja Sunda yang berhasil, sekaligus mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.

Dalam perkembangannya yang paling kontemporer, kebudayaan Sunda kini banyak mendapat gugatan kembali. Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda pun sering kali mencuat ke permukaan. Apakah kebudayaan Sunda masih ada? Kalau masih ada, siapakah pemiliknya? Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda yang tampaknya provokatif tersebut, bila dikaji dengan tenang sebenarnya merupakan pertanyaan yang wajar-wajar saja. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena kebudayaan Sunda dalam kenyataannya saat ini memang seperti kehilangan ruhnya atau setidaknya tidak jelas arah dan tujuannya. Mau dibawa ke mana kebudayaan Sunda tersebut?


http://de-kill.blogspot.com/2009/04/sekilas-budaya-sunda.html 

Situs Sejarah Asal Usul Tanjungpinang Memprihatinkan

Bahkan saat ini di Pulau Biram Dewa di mana pernah berdiri istana itu, telah berdiri puluhan rumah warga. Padahal di sana terdapat papan pengumuman dari dinas kebudayaan dan pariwisata yang mengatakan kawasan itu merupakan kawasan situs sejarah dan benda-benda reruntuhan itu merupakan bagian dari benda cagar budaya.

Kondisi tentu sangat memprihatinkan, sebuah situs yang merupakan simbol sejarah berdirinya sebuah kota yang saat ini sudah berusia 223 tahun, ternyata terabaikan. Padahal setiap tahun hari jadi kota ini selalu diperingati dengan berbagai macam kegiatan, namun simbol kebesaran sejarahnya sendiri tidak diperhatikan.

Ketika hal ini dikonfirmasikan kepada disbudpar Tanjungpinang, salah seorang pihak yang terkait untuk masalah ini mengatakan tidak bisa memberikan komentar banyak. Narasumber yang enggan ditulis namanya itu mengatakan, pihaknya telah berupa mengusulkan agar kawasan itu bisa dibebaskan dari warga, dengan cara mengganti rugi rumah warag yang sudah berdiri dan kemudian membuat replika dari istana kota piring itu.

Namun kenyataannya usulan itu tidak ditanggapi oleh wakil rakyat yang ada di DPRD Tanjungpinang. Alasannya hal itu tidak mendatangkan pendapatan bagi kota ini. 

Panggilan “Daeng” dalam Kebudayaan Luwu/Palopo

Panggilan “daeng” sempat mencuat ke permukaan ketika salah seorang anggota Pansus Century, Ruhut Sitompul, memanggil mantan wakil presiden Jusuf Kalla dengan panggilan “Daeng” dalam salah satu sesi sidang yang menghadirkan Jusuf Kalla. Tindakan Ruhut Sitompul ini sontak menuai kritikan dari anggota Pansus lain yang juga berasal dari Sulawesi Selatan. Lalu apakah Ruhut salah dalam menggunakan panggilan “Daeng”? Untuk penjelasannya silakan merujuk ke tulisan bugishy.

Panggilan “daeng” yang banyak dikenal orang identik dengan kebudayaan Bugis-Makassar. Padahal, di Sulawesi Selatan, panggilan “Daeng” setidaknya digunakan pada dua kebudayaan dengan arti dan makna yang berbeda. Pada kebudayaan Bugis-Makassar, panggilan “Daeng” memiliki arti sebagaimana yang telah diadopsi orang banyak (baca tulisan bugishy), namun pada kebudayaan orang Luwu/Palopo, panggilan “Daeng” memiliki beberapa arti yang tidak bisa dikatakan sama.

Sistem demografi di Indonesia memang tidak mengakui eksistensi suku/kebudayaan Luwu, sehingga komunitas luas yang terdiri dari 21 kecamatan ini dikelompokkan sebagai suku Bugis atau Toraja, padahal mereka memiliki kebudayaan dan adat-istiadat tersendiri yang – meskipun ada kemiripan – berbeda dari suku Bugis, lebih-lebih Toraja.

Tradisi Lompat Batu Nias

Tradisi melompat batu atau yang biasa disebut oleh orang Nias sebagai fahombo batu adalah pada mulanya dilakukan oleh seorang pemuda Nias untuk menunjukan bahwa pemuda yang bersangkutan sudah dianggap dewasa dan matang secara fisik. Lebih jauh dari itu bila sang pemuda mampu melompati batu yang disusun hingga mencapai ketinggian 2 m dengan ketebalan 40 cm dengan sempurna maka itu artinya sang pemuda kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya samu’i mbanua atau la’imba hor, jika ada konflik dengan warga desa lain. 


Tapi satu hal yang perlu diketahui bahwa tradisi lompat batu ini tidak terdapat di semua wilayah Nias dan hanya terdapat pada kampung-kampung tertentu saja seperti di wilayah Teluk Dalam. Dan satu hal lagi, tradisi ini hanya boleh diikuti oleh kaum laki-laki saja, dan sama sekali tak memperbolehkan kaum perempuan untuk mencobanya mengingat lompat batu merupakan ajang ketangkasan yang nantinya bila berhasil melompat dengan sempurna yang bersangkutan akan didampuk menjadi pembela kampungnya ketika ada perselisihan dengan kampung lain. 

Oleh karena begitu prestisiusnya kemampuan lompat batu ini, maka sang pemuda yang telah berhasil menaklukan batu ini pada kali pertama bukan saja akan menjadi kebanggaan dirinya sendiri tapi juga bagi keluarganya. Bagi keluarga sang pemuda yang baru pertama kali mampu melompati batu setinggi 2 meter ini biasanya akan menyembelih beberapa ekor ternak sebagai wujud syukuran atas keberhasilan anaknya.

Kebudayaan Mentawai Tidak Mengenal Logam

Mentawai merupakan kepulauan yang terdiri dari beberapa puluh pulau. Pulau yang paling besar ada 3, yakni Pulau Siberut, Pulau Pagai dan Pulau Sipora. Di antara ketiga pulau ini pulau yang paling besar adalah Pulau Siberut dengan luas 4.480 km2. Sejak era otonomi daerah pulau-pulau Mentawai tidak lagi termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman, melainkan menjadi kabupaten tersendiri yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan ibukota berkedudukan di Pulau Pagai dan termasuk wilayah Provinsi Sumatera Barat.

Jarak Kepulauan Mentawai dari kota Padang +- 135 km melintasi Samudra Hindia nan luas dengan ombak yang tinggi dan sering ganas. Oleh karena itu transportasi menuju ke kepulauan ini sangat tergantung kepada cuaca, apabila sedang musim badai maka jarang ada kapal yang berani melintasinya. Keadaan ini sudah berlangsung selama berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu sehingga membuat kepulauan Mentawai menjadi seperti "terisolir." Akan tetapi kondisi ini sesungguhnya sangat menguntungkan di mana kepulauan Mentawai dengan segala isinya tumbuh dengan unik, terutama flora dan fauna yang hanya ada di Kepulauan Mentawai.

Kondisi ini secara tidak langsung juga membuat masyarakat yang tinggal di dalamnya dan budaya yang dimilikinya mempunyai ciri khas tersendiri, mengikuti keadaan alamnya. Merupakan hal yang wajar apabila daerah Mentawai menjadi salah satu kawasan yang dilindungi di Indonesia sebagai 'cagar bioster.' Kawasan Taman Nasional Siberut ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan no 407/Kpts-II/93 yang berlaku surut sejak tahun 1992.