Minggu, 03 Juli 2011

Adat Istiadat Tak Hilang Oleh Waktu

Budaya juga memiliki sifat yang dinamis, dimana dalam kurun waktu akan mengalami perubahan menyesuaikan zaman. Namun disisi lain, budaya ada yang tidak bisa mengalami perubahan. Demikian disampaikan Inosensius, anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat yang juga Pembina DALN pada acara pembukaan Musyawarah Adat Dayak Lebang Nado, yang berlangsung di Dusun Bayur Desa Linggam Permai kecamatan Kayan Hilir, Jumat (01/07/2011).

“Kita tidak bisa membantah kalau teknologi itu sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat adat dimanapun, tak terkecuali masyarakat adat Dayak. Tapi tetap saja ada hal-hal yang tidak bisa dihilangkan seperti tatakrama,” jelas Ino.

Diakui nya juga, bukanlah hal yang mudah untuk melakukan penyesuaian ataupun mempertahankan diri ditengah arus perubahan yang begitu gencar dewasa ini, dimana berbagai sendi kehidupan sudah mulai merasakan arti dari kemajuan zaman. Hanya komitmen dari masyarakatlah yang mampu mempertahankan adat istiadat ditengah derasnya zaman, tanpa perlu untuk menghindarinya.

Rumah Adat Telok Serong - Obati Kerinduan Nuansa Bahari

Ingin menikmati hunian tempo doeloe? Sebuah rumah adat Banjar yang asri di Desa Telong Selong Ulu, Desa Martapura Barat, menawarkan nuansa ini. Sensasi masa lampau sarat dengan budaya Banjar terasa di desa sekitar tiga kilometer dari kota Martapura. Di sini, ada dua rumah adat Banjar tipe Gajah Baliku yang diperkirakan usianya 150 tahun. Kedua bangunan tua ini ditetapkan pemerintah sebagai cagar budaya sebagaimana diatur Undang-Undang No 5/1992.

Saat BPost mampir ke rumah ini, akhir puasa lalu, Hj Mulia si empu rumah tengah rehat di sana. Nenek yang mengaku berusia lebih 100 tahun itu dengan santai rebahan di atas kasur, tak jauh dari kelambu khas urang Banjar.

"Aku diam di sini mulai halus. Hanyar wayah ini aku bila siang haja ke sini, kalau malam aku ke rumah kemenakanku (aku sudah tinggal di sini sejak kecil. Baru sekarang aku siang saja di sini, sedang malamnya menginap di rumah keponakan)," ucap Nenek yang masih terlihat sehat ini.

Dari dua rumah itu salah satunya masih dihuni. Selain Nini Mulia ada Acil Majiah yang dengan setia memelihara dan merawat rumah tersebut. Selain itu, ibu berusia 56 tahun itu juga bertugas melayani para pengunjung yang mendatangi situs pariwisata ini. Acil Majiah dengan sabar mengantar BPost mengelilingi rumah Banjar dengan ukuran 9 x 14 m itu. 

Ayo Minum Kopi Daun

KOPI daun adalah minuman tradisional masyarakat Tanah Datar dan sekitarnya. Minuman ini terbuat dari daun kopi yang dikeringkan dan cara membuatnya mirip menyeduh teh. Namun wanginya tak bisa ditandingi teh manapun karena aromanya khas dan wangi sekali.

Biasanya minuman kopi daun disajikan istri petani di dangau-dangau tengah sawah di lereng Gunung Marapi saat petani melepas penat. Ditemani makanan kecil seperti goreng pisang,  onde-onde, bika, lapek bugih, atau lapek pisang.

Di Tanah Datarminuman kopi daun ini juga disebut dengan minum "kahwa". Kahwa berasal dari bahasa Arab yang artinya "kopi". Minuman kopi daun ini juga bisa dijumpai di kedai-kedai kecil yang ada di nagari-nagari Tanah Datar. Minuman ini juga nikmat disajikan dengan goring pisang. Menyajikannya juga unik, dalam sayak tempurung.

"Sayak" adalah tempurung  kelapa tua yang sudah dikikis halus dan sudah berwarna hitam permukaannya. Tempurung inilah pengganti cangkir.

Cara membuat kopi daun ini tidak terlalu sulit. Harmayeti, 45 tahun, warga Nagari Sungayang, Tanah Datar kepada PadangKini.com mengatakan, mula-mula dipetik daun kopi yang tidak terlalu tua, juga tidak terlalu muda alias sedang-sedang saja.

"Daun-daun ini dijepit dengan sebilah bambu lalu digantung di atas perapian, dibiarkan berhari-hari di atas perapian kayu bakar hingga kering, bila diremas berbunyi gemerisik, itu tandanya sudah jadi," katanya.

Daun kopi kering ini lalu dimasukkan ke dalam tabung bambu khusus. Ujung bambunya disumpal dengan ijuk sebagai saringan. Kemudian tabung bamboo ini disiram air mendidih. Setelah dibiarkan beberapa saat maka dituangkanlah ke sayak tempurung.

Selesai dan siap dihidangkan. Aroma wangi meruap ke hidung, jauh lebih wangi dari teh. Warnanya kecoklatan dan kental. Kalau diserumput terasa agak pahit seperti teh, tapi wanginya tentu beda. Ada yang menambah minuman ini dengan gula, agar terasa manis. Tapi kata Harmayeti, "Sebaiknya jangan pakai gula, karena cita rasanya akan berkurang."

Situs Megalitikum Terungkap di Jayapura

Balai Arkeologi Kota Jayapura, Papua, menemukan situs megalitikum di Kampung Ayapo Baru, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura. Peneliti dari Balai Arkeologi Jayapura, Hari Suroto, Ahad (3/4), mengatakan situs itu ditemukan di tepi Danau Sentani.

Dari hasil survei, lanjutnya, terdapat empat lumpang batu di situs megalitikum dengan formasi tiga buah lumpang batu mengitari sebuah lumpang sebagai pusatnya. "Lumpang batu adalah sebongkah batu yang diberi lubang berbentuk lingkaran, dengan diameter lubang dan dalam rata-rata 15 sentimeter," katanya.

Dia menilai, pada masa prasejarah, kepercayaan terhadap kekuatan alam yang menguasai kehidupan sangat berpengaruh di Kampung Ayapo. Ini dibuktikan oleh adanya empat lumpang batu yang berfungsi untuk kepentingan upacara religi.

Kekuatan yang dipancarkan oleh alam ataupun oleh arwah nenek moyang yang telah meninggal dunia, diharapkan diperoleh melalui benda megalitikum, dan melalui lumpang batu ini pula arwah nenek moyang diharapkan akan memberikan kesejahteraan kepada mereka yang masih hidup.

Rumah Adat Asmat

Mendengar kata Asmat, yang muncul di benak kita adalah suku primitif dan terbelakang serta sudah tidak asing lagi di telinga kita, terutama di kalangan pelajar dari SD sampai Perguruan Tinggi. Dalam ilmu pengetahuan sosial suku tersebut sering dikenal sebagai suku yang berada di sebelah timur Indonesia, yaitu tanah Papua. Namun, gambaran seperti itu lenyap, bila melihat orang Asmat membangun kebudayaan melalui seni dan adat istiadat mereka. Seperti apa budaya Asmat dan bagiaman mereka membangun Jew dan maknanya.

Bagi suku Asmat, sungai adalah kehidupan. Sungai yang membawa mereka dari satu ke tempat lain. Dari sungai mereka juga menggantungkan hidup, seperti mencari ikan dan keperluan lain.

Walaupun nampak primitif karena penampilannya yang sederhana, namun Suku Asmat adalah suku yang memegang kuat filosofi hidup dan nilai-nilai kesopanan. Hal itu juga termasuk dalam cara mereka membangun rumah adat Suku Asmat.

Rumah adat Suku Asmat yang dikenal dengan nama Jew, adalah rumah yang khusus diperuntukkan bagi pelaksanaan segala kegiatan yang sifatnya tradisi. Misalnya untuk rapat adat, melakukan pekerjaan membuat noken (tas tradisional Suku Asmat), mengukir kayu, dan juga tempat tinggal para bujang. Oleh karena itu, rumah Jew juga disebut sebagai Rumah Bujang.  Jew adalah salah satu bagian dari nilai-nilai suku asmat yang melihat rumah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Suku Asmat selain itu pandai membuat ukiran dan memahat yang sarat simbol leluhur mereka.

Asal Usul Rumah Adat Jambi

A.  Asal Usul Rumah Adat Jambi. 

Identitas Rumah Adat. 
Orang Batin adalah salah satu suku bangsa yang ada di Provinsi Jambi. Sampai sekarang orang Batin masih mempertahankan adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, bahkan peninggalan bangunan tua pun masih bisa dinikmati keindahannya dan masih dipergunakan hingga kini.  Konon kabarnya orang Batin berasal dari 60 tumbi (keluarga) yang pindah dari Koto Rayo. Ke 60 keluarga inilah yang merupakan asal mula Marga Batin V, dengan 5 dusun asal. Jadi daerah Marga Batin V itu berarti kumpulan 5 dusun yang asalnya dari satu dusun yang sama. Kelima dusun tersebut adalah Tanjung Muara Semayo, Dusun Seling, Dusun Kapuk, Dusun Pulau Aro, dan Dusun Muara Jernih. Daerah Margo Batin V kini masuk wilayah  Kecamatan Tabir, dengan ibukotanya di Rantau Panjang, Kabupaten Sorolangun Bangko. 

Suku sasak adalah salah satu suku terbesar di Propinsi Nusa Tenggara Barat

Asal muasal disebut Lombok / Sasak

Nenek moyang Suku Sasak berasal dari campuran penduduk asli Lombok dengan para pendatang dari Jawa Tengah yang terkenal dengan julukan Mataram, pada jaman Raja yang bernama Rakai Pikatan dan permaisurinya Pramudhawardani. Kata sasak itu sendiri berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan. Karena moyang orang Lombok pada jaman dulu berjalan dari daerah bagian barat Lomboq(lurus) sampai kearah timur terus menuju sebuah pelabuhan di ujung timur pulau yang sekarang bernama Pelabuhan Lombok. Mereka banyak menikah dengan penduduk asli hingga memiliki anak keturunan yang menjadi raja sebuah kerajaan yang didirikan yang bernama Kerajaan Lombok yang berpusat di Pelabuhan Lombok. Setelah beranak pinak, sebagai tanda kisah perjalanan dari Jawa memakai sampan (sak-sak), mereka menamai keturunannya menjadi suku Sak-sak, yang lama-kelamaan menjadi Sasak.

Meski Ditentang, Presiden SBY Tetap Dianugerahi Gelar Adat Batak

Meski sempat mengalami penolakan dari warga setempat, terutama dari pemuda, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap dianugerahi gelar Patuan Sorimulia Raja oleh Lembaga Adat Batak Angkola. Pemberian gelar itu adalah salah satu acara dalam peresmian Museum Batak di Balige, Toba Samosir, Sumatera Utara, Selasa.

Gelar itu adalah gelar kehormatan tertinggi Batak Mandailing yang juga berarti "Paduka Tuan". Pemberian gelar itu juga melengkapi nama presiden menjadi Susilo Bambang Yudhoyono Siregar. Sementara itu, Ani Yudhoyono diberi gelar Naduma Harungguan Hasayangan. Gelar itu adalah gelar kehormatan untuk istri atau permaisuri.

Pemberian gelar itu melengkapi nama Ibu Negara menjadi Ani Bambang Yudhoyono Pohan. Prosesi pemberian gelar itu diawali dengan pemberian pakaian adat dan perlengkapannya kepada presiden dan Ani Yudhoyono Pohan.

Pemberian Nama Anak dalam Adat Jawa

Di dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW menganjurkan para orang tua agar memberikan nama kepada anak-anak mereka dengan nama-nama yang baik, karena pada nama-nama tersebut terselip sebuah doa dan harapan orang tua. Selain itu, Nabi Muhammad SAW melarang umatnya menggunakan nama Abu Qasim (Bapak Pembagi-bagi). Nama ini adalah gelar beliau. Hal ini bukan berarti beliau tidak mau disamai oleh umat/pengikutnya, melainkan karena beliau sadar bahwa tidak semua orang mampu menjadi Abu Qosim (orang yang bersedia membagikan atau memberikan hartanya walaupun tinggal satu, dan setelah diberikan dirinya tidak memiliki lagi). 

Terlepas dari  pandangan spiritual ini, semuanya terpulang kembali kepada Allah SWT, Tuhan Sang Pencipta Alam, Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Bijaksana. Manusia wajib mempunyai harapan, doa serta kesungguhan berusaha yang merupakan  perwujudan dari cita-cita, tetapi kepada-Nya-lah terpulang semuanya. 

Budaya Karo – Sejarah Marga-Marga

Berdasarkan Keputusan Kongres Kebudayaan Karo. 3 Desember 1995 di Sibayak International Hotel Berastagi, pemakaian merga didasarkan pada Merga Silima, yaitu ;

1. Ginting
2. Karo-Karo
3. Peranginangin
4. Sembiring
5. Tarigan

Sementara Sub Merga, dipakai di belakang Merga, sehingga tidak terjadi kerancuan mengenai pemakaian Merga dan Sub Merga tersebut.

Adapun Merga dan Sub Merga serta sejarah, legenda, dan ceritanya adalah sebagai berikut

1. Merga Ginting

Merga Ginting terdiri atas beberapa Sub Merga seperti :
* Ginting Pase

Ginting Pase menurut legenda sama dengan Ginting Munthe. Merga Pase juga ada di Pak-Pak, Toba dan Simalungun. Ginting Pase dulunya mempunyai kerajaan di Pase dekat Sari Nembah sekarang. Cerita Lisan Karo mengatakan bahwa anak perempuan (puteri) Raja Pase dijual oleh bengkila (pamannya) ke Aceh dan itulah cerita cikal bakal kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Untuk lebih jelasnya dapat di telaah cerita tentang Beru Ginting Pase. (Petra : Bisa dibaca di sini)
* Ginting Munthe

Menurut cerita lisan Karo, Merga Ginting Munthe berasal dari Tongging, kemudian ke Becih dan Kuta Sanggar serta kemudian ke Aji Nembah dan terakhir ke Munthe. Sebagian dari merga Ginting Munthe telah pergi ke Toba (Nuemann 1972 : 10), kemudian sebagian dari merga Munthe dari Toba ini kembali lagi ke Karo. Ginting Muthe di Kuala pecah menjadi Ginting Tampune.
* Ginting Manik

Ginting Manik menurut cerita masih saudara dengan Ginting Munthe. Merga ini berasal dari Tongging terus ke Aji Nembah, ke Munthe dan Kuta Bangun. Merga Manik juga terdapat di Pak-pak dan Toba.
* Ginting Sinusinga
* Ginting Seragih

Menurut J.H. Neumann (Nuemann 1972 : 10), Ginting Seragih termasuk salah satu merga Ginting yang tua dan menyebar ke Simalungun menjadi Saragih, di Toba menjadi Seragi.
* Ginting Sini Suka

Menurut cerita lisan Karo berasal dari Kalasan (Pak-Pak), kemudian berpindah ke Samosir, terus ke Tinjo dan kemudian ke Guru Benua, disana dikisahkan lahir Siwah Sada Ginting (Petra : bacanya Sembilan Satu Ginting), yakni :
o Ginting Babo
o Ginting Sugihen
o Ginting Guru Patih
o Ginting Suka (ini juga ada di Gayo/Alas)
o Ginting Beras
o Ginting Bukit (juga ada di Gayo/Alas)
o Ginting Garamat (di Toba menjadi Simarmata)
o Ginting Ajar Tambun
o Ginting Jadi Bata