Kamis, 30 Juni 2011

Busana Tradisional Buton




Pakaian keseharian orang kebanyakan (golongan walaka) disebut pakaian biru-biru, terdiri atas sarung dan ikat kepala tanpa baju. Agar sarung tampak kuat, maka dililitkan kain ikat pinggang yang diberi hiasan jambul-jambul atau rumbai-rumbai disebut kabokena tango. Cara melilitkan ikat pinggang tersebut diatur sedemikian rupa agar rumbai-rumbai tersebut berada di depan. Ikat kepala dililitkan di tengah kepala sehingga membentuk lipatan-lipatan yang meninggi di sebelah kanan kepala, yang disebut biru-biru.

Pakaian sehari-hari di kalangan wanita disebut baju kombowa, terdiri atas unsur pakaian baju dan kain sarung motif kotak-kotak kecil yang disebut bia-bia itanu. Bentuk baju berlengan pendek dan tidak berkancing. Sarung yang dikenakan ada dua, bercorak sama tetapi dengan warna berbeda. Sarung yang di dalam dililitkan pada pinggang lebih panjang dari pada sarung yang di luar (tampak berlapis). Perhiasan yang digunakan adalah sanggul yang diberi hiasan. Hiasan sanggul terbuat dari kain atau logam yang berwarna kuning membentuk kembang cempaka. Selain itu, perhiasan yang dipakai adalah gelang, cincin dan anting yang terbuat dari emas.

Selain pakaian sehari-hari, masyarakat Buton pun memiliki pakaian khusus yang dikenakan pada saat berlangsung upacara adat tertentu, khususnya yang berhubungan dengan daur hidup manusia. Dua diantaranya yang adalah upacara memingit gadis yang disebut posuo dan upacara sunatan.

http://www.tamanmini.com/budaya/BBusana/323112484226/Busana-Tradisional-Buton 

Masyarakat lampung adat Saibatin

Pada dasarnya jurai Ulun Lampung adalah berasal dari Sekala Brak, namun dalam perkembangannya, secara umum masyarakat adat Lampung terbagi dua yaitu masyarakat adat Lampung Saibatin dan masyarakat adat Lampung Pepadun. 

Masyarakat Adat Saibatin kental dengan nilai aristokrasinya, sedangkan Masyarakat adat Pepadun yang baru berkembang belakangan kemudian setelah seba yang dilakukan oleh orang abung ke banten lebih berkembang dengan nilai nilai demokrasinya yang berbeda dengan nilai nilai Aristokrasi yang masih dipegang teguh oleh Masyarakat Adat Saibatin. 

Hukum Waris Adat Tunggu Tubang

Susunan Masyarakat Semende
Semendo merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah Kabupatena Muara Enim Propinsi Sumatera Selatan, yang terdiri dari dua perwakilan kecamatan dan satu kecamatan induk yang membawahi 32 desa. Perwakilankecamatan yang dimaksud adalah perwakilan Kecamatan Tanjung Raya dan Perwakilan Kecamatan Aremantai.

Pada tahun 2002 mengalami perubahan nama sebagai berikut : Semendo menjadi Semende Darat Laut, Aremantai menjadi Semende Darat Ulu dan Tanjung Raya menjadi Semende Darat Tengah. Wilayah Kecamatan Semende Darat Laut dibagi habis kedalam 10 desa, dengan Pulau Panggung sebagai Ibukota Kecamatan, berjarak sekitar 87 Kilometer dari Muara Enim, Ibukota Kabupaten Muara Enim. Wilayah Kecamatan Semende Darat Ulu dibagi habis kedalam 10 desa, dengan desa Aremantai sebagai Ibukota Kecamatan, berjarak sekitar 107 kilometer dari Muara Enim.

Kecamatan Semende Darat Tengah yang semula bernama Tanjung Raya berstatus Kecamatan Pembantu, ditingkatkan statusnya menjadi Kecamatan Simende Darat Tengah. Wilayah Kecamatan Semende Darat Tengah dibagi habis kedalam 9 desa, dengan Desa Tanjung Raya Semende Darat Tengah sebagai Ibukota Kecamatan, berjarak sekitar 97 kilometer dari Muara EnimNamun,sekarang desa telah bertambah 3 sehingga jumlahnya 12 desa.

Sejarah Asal Usul Komunitas Adat Rejang

Suku bangsa Rejang yang dewasa inibertebaran tentunya mempunyai asal usul mula jadinya, dari cerita secara turun temurun dan beberapa karangan-karangan tertulis mengenai Rejang dapatlah dipastikan bahwa asal usul suku bangsa Rejang adalah di Lebong yang sekarang dan ini terbukti dari hal-hal berikut :
  1. John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779), memberikan keterangan tentang adanya empat Petulai Rejang, yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (selupu) dan Toobye (Tubay).
  2. J.L.M Swaab, Kontrolir Belanda di Lais (1910-1915) mengatakan bahwa jika Lebong di angap sebagai tempat asal usul bangsa Rejang, maka Merigi harus berasal dari Lebong. Karena orang-orang merigi memang berasal dari wilayah Lebong, karena orang-orang Merigi di wilayah Rejang (Marga Merigi di Rejang) sebagai penghuni berasal dari Lebong, juga adanya larangan menari antara Bujang dan Gadis di waktu Kejai karena mereka berasal dari satu keturunan yaitu Petulai Tubei.
  3. Dr. J.W Van Royen dalam laporannya mengenai “Adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” pada pasal bengsa Rejang mengatakan bahwa sebagai kesatuan Rejang yang paling murni, dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang dari satu Bang dan harus diakui yaitu Rejang Lebong.
Pada mulanya suku bangsa Rejang dalam kelompok-kelompok kecil hidup mengembara di daerah Lebong yang luas, mereka hidup dari hasil-hasil Hutan dan sungai, pada masa ini suku bangsa Rejang hidup Nomaden (berpindah-pindah) dalam tatanan sejarah juga pada masa ini disebut dengan Meduro Kelam (Jahiliyah), dimana masyarakatnya sangat mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam dan lingkungan yang tersedia.

Kain Tenun Ikat Adat Sikka Andalan Warga Flores

Tenun ikat masyarakat adat Sikka, Maumere, Flores, merupakan karya seni yang patut mendapat perhatian. Rupanya, selain batik ada juga karya seni anak bangsa yang bisa dibanggakan. Kesenian turun temurun ini telah ada sejak 50 tahun silam.

Proses pembuatannya tidak main-main, menghabiskan waktu kurang lebih 8 bulan (tergantung ukuran, warna dan motif) untuk satu buah sarung tenun siap pakai. Tentu diawali dengan memintal, mewarnai hingga mengikat. "Kami menggunakan bahan dasar yang alami," kata Daniel David, Koordinator Sanggar Bliran Sina, Maumere, Flores saat di House of Sampoerna, 

Pewarnaan dilakukan dengan bahan-bahan alami. Untuk warna merah digunakan akar mengkudu, warna kuning berasal dari kunyit, warna biru mereka ambil dari daun nila, serta warna coklat menggunakan batang pohon kakao. "Mengolah warna tidak bisa sembarangan, supaya warna bisa matang dan tidak mudah pudar," jelas Yustina Neing, master warna biru dan hitam di suku sikka.

Motif tenun dibagi menjadi dua yakni motif tradisional dan motif modern. Motif tradisional merupakan motif-motif yang sakral, masih kental budaya animisme dan dinamisme. Motif modern tidak jauh berbeda, tapi ada beberapa tambahan motif serta ketebalan yang berbeda dengan motif tradisional.

"Setiap daerah mempunyai motif yang berbeda-beda, bahkan lain desa sudah lain motif tenunnya," ujar Daniel menjelaskan keragaman motif tenun ikat di Flores.

Mengenal Seni Budaya Kabupaten Halmahera Utara

Keanekaragaman seni budaya yang masih mengakar kuat di masyarakat adalah modal pariwisata yang potensial untuk dikembangkan. Misal: Tarian Cakalele adalah tarian perang yang saat ini lebih sering dipertunjukan untuk menyambut tamu agung yang datang ke daerah ini maupun untuk acara yang bersifat adat.

TARIAN CAKALELE,
Tarian Cakalele adalah tarian perang yang saat ini lebih sering dipertunjukan untuk menyambut tamu agung yang datang ke daerah ini maupun untuk acara yang bersifat adat. Para penari cakalele pria biasanya menggunakan parang dan salawaku sedangkan penari wanita menggunakan lenso (sapu tangan). Cakelele merupakan tarian tradisional khas Maluku.


TOKUWELA,
Merupakan pertunjukan tradisional rakyat yang membutuhkan lebih dari 20 orang pemain. Sambil diiringi lagu Tokuwela, pada pertunjukan ini para pemain laki-laki dan perempuan akan membentuk formasi saling berhadapan dan saling berpegangtangan sehingga dapat menopang seorang anak yang akan berjalan di atasnya. Pertunjukan ini biasanya dibawakan oleh suku Galela, Tobelo dan Loloda pada acara-acara tertentu.

MUSIK YANGERE,
Merupakan musik tradisional masyarakat Halmahera Utara. Musik ini dimainkan secara kelompok dengan menggunakan alat musik tradisional kaste (bass tradisional) dan jup (gitar berukuran kecil). Oleh masyarakat setempat musik Yangere biasanya dimainkan dalam rangka menyambut event tertentu dengan cara membawanya berkeliling dari rumah ke rumah.

Suku Kubu

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.

Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.

Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.

Candi Muara Takus

Candi Muara Takus adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Riau, Indonesia. Kompleks candi ini tepatnya terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar atau jaraknya kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru, Riau. Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan tak jauh dari pinggir Sungai Kampar Kanan.

Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua, Candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir kompleks candi. Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan candi itu secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai.

Selain dari Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka, di dalam kompleks candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Di luar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.

Taman Purbakala Pugung Raharjo

Taman ini merupakan salah satu situs bersejarah peninggalan jaman Hindu, Budha, dan Islam yang berupa Punden Berundak, Batu Mayat (Batu Kandang), Altar Batu, Batu Berlubang, Benteng, Dolmen, Arca, dan Prasasti dari dinasti Han, Sung, dan Ming. obyek wisata ini terletak di Desa Pugung Raharjo, Kecamatan Sekampung Udik di Kabupaten Lampung Timur tentunya. Lokasi keberadaan taman purbakala ini pun tidak kalah menarik, karena dikelilingi tanggul bekas peninggalan perang dan juga terdapat berbagai jenis pohon yang membuat suasanya menjadi semakin nyaman.

Di sini anda dapat berkeliling dengan berjalan kaki melalui alur jalan setapak yang sengaja dibuat untuk memudahkan pengunjung untuk menjelajahi daerah ini dan melihat berbagai situs prasejarah yang penuh misterius hingga saat ini. Anda juga dapat menikmati air kolam yang sejuk dari sumber mata air yang terdapat di lokasi ini. 

Situs Gunung Padang

Situs Gunung Padang di Kampung Gunung Padang dan Kampung Panggulan, Desa Karyamukti Kecamatan Campaka, Cianjur, merupakan situs megalitik berbentuk punden berundak yang terbesar di Asia Tenggara. Ini mengingat luas bangunan purbakalanya sekitar 900 m2 dengan luas areal situs sendiri kurang lebih sekitar 3 ha. 

Keberadaan situs ini peratama kali muncul dalam laporan Rapporten van de oudheid-kundigen Dienst (ROD), tahun 1914, selanjutnya dilaporkan NJ Krom tahun 1949. pada tahun 1979 aparat terkait dalam hal pembinaan dan penelitian benda cagar budaya yaitu penilik kebudayaan setempat disusul oleh ditlinbinjarah dan Pulit Arkenas melakukan peninjauan ke lokasi situs. Sejak saat itu upaya penelitian terhadap situs Gunung Padang mulai dilakukan baik dari sudut arkeologis, historis, geologis dan lainnya.

Bentuk bangunan punden berundaknya mencerminkan tradisi megalitik (mega berarti besar dan lithos artinya batu) seperti banyak dijumpai di beberapa daerah di Jawa Barat. Situs Gunung Padang yang terletak 50 kilometer dari Cianjur konon merupakan situs megalitik paling besar di Asia Tenggara. Di kalangan masyarakat setempat, situs tersebut dipercaya sebagai bukti upaya Prabu Siliwangi membangun istana dalam semalam.