Sabtu, 09 Juli 2011

Menelusuri Potensi Objek Wisata Larantuka Flores Timur

Larantuka adalah sebuah kelurahan di Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia dan dikenal juga sebagai kota pelabuhan di tepi danau. Daerah ini merupakan salah satu daerah tujuan wisata di NTT yang cukup terkenal dan sering dikunjungi wisatawan baik domestik maupun mancanegara.

Di Larantuka wisatawan dapat menemukan keindahan panorama pantai yang mempesona seperti Pantai Weri. Di Pantai ini wisatawan akan disuguhi keindahan pantai pasir putih dan pemandangan pulau Adonara yang ada di seberangnya. Pantai lainnya adalah Pantai Kawaliwu. Jika anda ingin menikmati keindahan saat matahari terbenam di ufuk barat atau sunset, maka di pantai ini anda dapat menikmatinya.

Seminar budaya lokal di Subulussalam

Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (Disdik Budpora) Kota Subulussalam menggelar seminar sehari Revitalisasi dan Reaktualisasi Budaya Lokal. Acara, kemarin di Hotel Khairulsyah Subulussalam melibatkan unsur perwakilan kemukiman, tokoh agama, tokoh masyarakat dan unsur perempuan itu dibuka Walikota Merah Sakti.

Walikota Merah Sakti dalam arahannya minta peserta menggali atau mengaktualisasikan kembali budaya yang ada di Subulussalam dan sekitarnya, dengan tidak menimbulkan persoalan baru.

Menyampaikan apresiasi kepada Disdik Budpora, Peringkat II UN 2010-2011 Tingkat Provinsi Aceh, Sakti minta dinas terkait menginventarisir siswa peringkat I, II dan III untuk diberi penghargaan, masing-masing Rp10 juta, Rp7,5 juta dan Rp5 juta seperti pada 2010. "Akan kita beri penghargaan dalam acara di Setdako, dan hadirkan orangtua siswa," kata Sakti sambil berharap dana itu digunakan untuk pendidikan.

Tampil sebagai pemakalah H. Qaharuddin Kombih 'Adat Singkil Dalam Acara Khitan Dan Perkawinan', Hj. Nurbainah 'Peranan Wanita Dalam Budaya Kota Subulussalam', Jadam Basri 'Perdamaian Sengketa Menurut Adat Singkil' dan M Ugot Pinem 'Acara Kematian Dalam Adat Singkil'.

Hadir Kadis Syariat Islam Burhanuddin Berkat, Kadis Dikbudpora Nurhayat, Ketua MPU Qaharuddin Kombih, Ketua MAA Layari Kombih dan para pemateri.

Quo Vadis Budaya Kalteng ?

Tari perut, menterengnya dinamakan Belly Dance, yang dikenal berasal dari Timur Tengah, sekarang sudah sampai di Kalteng. Lea Andriani , pemilik Atletik Club Palangka Raya  menyebut tarian Timur Tengah yang erotik ini mampu menjaga kebugaran otak dengan ritme musik. Jadi bisa dikatakan ini menggabungkan aktivitas fisik, belajar keterampilan baru dan sosialisasi, yang semuanya penting bagi kebugaran otak. Dengan alasan ini maka Atletik Club Palangka Raya telah membuka kelas Belly (Kalteng Pos, Minggu, 19 Juni 2011). 

Bagi yang belum pernah menyaksikan apa-bagaimana Belly Dance, harian tertua di Kalteng itu telah menampilkan dua foto para penari Belly Dance dalam pakaian yang relatif minim: rok lumayan pendek, dada hanya ditutupi selembar kutang (BH). Fokus gerakan terletak pada perut yang terbuka dan pinggang bawah.Umum memandang tari perut sejenis tari yang sexy. Tapi Rimdaning,salah seorang penghobi Belly Dance menilai bukan ‘’sexy dance’’.’’Orang yang berpikir bahwa Belly Dance sebagai ‘’sexy dance’’ harus mengubah pola pikirnya sejak sekarang’’, ujar Rimdaning. Artinya mengatakan hal yang berbeda dari keadaan senyatanya.

Pariwisata Gorontalo

Pariwisata di Propinsi Gorontalo dikelompokkan pada 3 jenis usaha pariwisata yaitu usaha pariwisata Pantai, Pariwisata laut dan Pulau serta Pariwisata Alam Pegunungan. Pariwisata Pantai direpresentasikan oleh obyek wisata pantai Bolihutuo (Kabupaten Boalemo) dan Pantai Olele (di Kabupaten Gorontalo). Untuk Obyek wisata laut dan Pulau di wakili oleh obyek wisata Laut Torosiaje (Pahuwato) dan obyek wisata Pulau Saronde. Untuk kategori wisata pegunungan di wakili oleh obyek wisata Taman Nasional Nani Wartabone.


Pemilihan lokasi tersebut dilakukan atas pertimbangan bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan yang berpotensi mendatangkan obyek wisata dalam skala usaha wisata. Obyek wisata lain diharapkan mampu mendukung kawasan tersebut, sehingga mendapatkan multiflier effek dari aktivitas wisata.


Beberapa pertimbangan dilakukan kegiatan pengelompokkan wisata ini atas pertimbangan karakteristik dari lokasi wisata. Dengan demikian, akan terdapat kesamaan bentuk-bentuk investasi wisata. Dalam hal ini pertimbangan dasar yang dijadikan sebagai dasar untuk melakukan analisis adalah kebutuhan investasi dari tiap obyek wisata, yang dapat dilayani oleh investor. Investasi publik yang menunjang pariwisata diharapkan menjadi tanggungjawab pemerintah daerah seperti prasarana perhubungan (bandara, jalan), fasilitas umum. Sehingga komponen ini tidak menjadi pertimbangan dalam melakukan analisis investasi wisata oleh investor.

Bermulanya Minahasa dikenal di Peta Dunia

Simon Kos, seorang Belanda, pejabat VOC di Ternate pada tahun 1630 memasuki tanah Minahasa dibawah pengaruh Spanyol. Kos melaporkan hasil perjalanannya  kepada Batavia yang waktu itu menjadi pusat pemerintahan dibawah kekuasaan  persekutuan dagang, ‘Verenigde Oost-Indiesche Compagnie.?Kos melaporkan  bahwa Sulawesi Utara cukup potensial, baik lahan maupun posisi letaknya strategis sebagai jalur lintas rempah-rempah dari perairan Maluku menuju Asia-Timur. Lagi pula jalur lintas niaga laut lebih tenang bagi pelayaran kapal-kapal kayu dibanding melalui Laut Cina Selatan. Kos melaporkan bahwa  kehadiran Spanyol di Laut Sulawesi hingga perairan Maluku Utara merupakan ancaman bagi kepentingan niaga VOC bila ingin menguasai gudang rempah-rempah  kepulauan Maluku.

Laporan Simon Kos mendapat perhatian dari Jan Pieter Zoon Coen,  Gubernur-Jendral VOC di Batavia yang ingin mengusir Spanyol dari kepulauan Maluku Utara guna melakukan monopoli. Usaha perluasan pengaruh di Laut Sulawesi memperoleh peluang bagi VOC terjadi disaat penduduk Minahasa berjuang menghadapi kolonialisme Spanyol. Minahasa mengalami rawan sosial, dan wanita setempat menjadi korban pemerkosaan dari para musafir Spanyol.

Masa itu VOC memperoleh dukungan dari pemerintahannya yang dilanda trauma  kolonialisme Spanyol di Eropa Utara, termasuk Belanda. Invasi itu menyebabkan  Belanda perang kemerdekaan di pertengahan abad ke-16 yang mashur dengan sebutan Perang 80 tahun. Spanyol kalah, dan kekalahannya berlanjut hingga Asia-Timur dan Asia-Tenggara serta kawasan Pasifik Barat-Daya.
  Selain dengan  Spanyol, Belanda juga memusuhi Portugis yang juga menjadi saingannya dalam  usaha perluasan koloni. Yang terakhir ini juga berlomba adu pengaruh dengan  Spanyol memperebutkan gudang produksi rempah-rempah di Maluku sebelum  pembentukan pemerintahan gabungan Portugis-Spanyol pada 1580.

Struktur Pemerintahan dan Kekuasaan Kesultanan Buton

Konsep kesultanan dikenal dalam sejarah sesudah masuknya Islam. Sebutan sultan diadopsi dari negeri-negeri Arab atau Timur Tengah untuk raja yang dikenal sebelumnya. Sultan pertama yang merupakan raja kelima Kesultanan Butun adalah Lakilaponto yang kemudian bergelar Sultan Qaimuddin (artinya peletak Agama).


Pembentukan Kesultanan Buton (Butuni) didasarkan atas nilai tradisi lokal dan ajaran Islam. Pelapisan masyarakat di kesultanan terdiri atas 4 lapis yaitu: kaomu, walaka, papara dan batua. Kaomu adalah golongan yang dianggap keturunan langsung dari Wa Kaa Kaa, raja pertama (perempuan) yang memerintah sebelum Islam. Golongan ini dianggap lebih asli dibanding yang kedua, walaka yang sudah bercampur dengan keturunan mubaligh dari Arab: Abdul Wahab dan Sharif Muhammad. Dari golongan kaomu inilah sultan dipilih. Sedangkan walaka bertugas memelihara undang-undang (sara). Papara adalah rakyat biasa, sedangkan batua adalah orang yang bergantung kepada orang lain apakah sebagai budak atau karena berhutang.

Sarana Wolio yang digali dari Martabat Tujuh berisi sifat kemanusiaan kemudian diperbaharui oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin menjadi Sara Pataanguna (Adat Yang Empat). Keempat sara itu adalah: (1) Sara Wolio sebagai pusat pemerintahan; (2) Sara Hukumu sebagai pusat pelaksana kegiatan dari Hukum Islam (3) Sara Barata sebagai wilayah yang diberi kuasa untuk melaksanakan pemerintah sendiri (otonom), khusus yaitu: (a) Barata Kaledupa (b) Barata Kulisusu; (c) Barata Tiworo; sedangkan otonomi yang seluas-luasnya adalah (d) Barata Wuna (Muna). Struktur pemerintahan dan kekuasaan Kesultanan Butuni itu diproyeksikan ke dalam bentuk perahu barata. Barata dalam bahasa Wolio adalah perahu bercadik ganda dengan empat simpul penguat yang diidentifikasikan pada dua kerajaan di bagian barat: Tiworo dan Muna sedangkan di bagian timur Kulisusu dan Kaledupa (Muchir, 2003: 144-145).

Rasa Religiositas Orang Flores

Pertanyaan utama yang menggelitik rasa ingin tahu saya ketika menerima topik sarasehan ini  adalah, untuk apa menggali ‘rasa religiositas’ sebuah kelompok etnis? Apa sesungguhnya relevansi dan urgensinya? Jawaban atas pertanyaan ini –yang akan diberikan di bagian pengantar ini-- penting sebagai dasar bagi pembahasan selanjutnya. 

Beberapa ahli filsafat kebudayaan, seperti Zoetmulder, Driyarkara, Mangunwijaya, Dick Hartoko (dalam Taum, 1997a: 3) mengungkapkan bahwa awal mula segala ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah rasa religiositas. Dengan kata lain, keinginan untuk memuja Sang Pencipta mendorong terbentuknya kebudayaan setiap etnis. Karena itu, menurut saya, memahami 'rasa religiositas' dari sebuah kelompok etnik merupakan kunci memahami kebudayaan etnis tersebut, karena kebudayaan pada awalnya diabdikan untuk mengungkapkan rasa religiositas tersebut. 
 
Dengan memasukkan faktor budaya dalam upaya menuju ke inkulturisasi (musik) liturgi, berarti ada pengakuan yang lebih tegas dan eksplisit mengenai fungsi budaya. Menurut para ahli kebudayaan seperti Galtung (dalam Taum, 1994a), kebudayaan memainkan peranan yang sangat menentukan dalam pergerakan sosial besar yang mengubah masyarakat.  Menurut saya, hal itu berlaku pula dalam hal religi, yakni  jika kita mau 'mengubah' masyarakat menuju ke semangat Injil yang (lebih) benar.

Untuk mencapai tujuan itu, makalah ini akan membahas lima aspek, yakni: pengantar memahami masyarakat Flores, agama-agama asli di Flores, keutamaan-keutamaan orang Flores, catatan ringkas tentang rasa musikal orang Flkores, dan akan diakhiri dengan catatan tentang inkulturasi  musik di Flores. 

Menelusuri jejak-jejak situs kerajaan Mataram Islam

Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia yang bersifat maritim, kerajaan Mataram bersifat agraris. Kerajaan yang beribu kota di pedalaman Jawa ini banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu baik pada lingkungan keluarga raja maupun pada golomngan rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai dengan perebutan tahta dan perselisihan antaranggota keluarga yang sering dicampuri oleh Belanda. Kebijaksanaan politik pendahulunya sering tidak diteruskan oleh pengganti-penggantinya. Walaupun demikian, kerajaan Mataram merupakan pengembang kebudayaan Jawa yang berpusat di lingkungan keraton Mataram. Kebudayaan tersebut merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam.

Banyak versi mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram berdasarkan mitos dan legenda. Pada umumnya versi-versi tersebut mengaitkannya dengan kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan juga terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang memberikan hadiah kepada 2 orang yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.
Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak pada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. 

Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senapati bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601. Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senapati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.

Kebudayaan dan Peradaban Aceh

Selama ini, seni dan budaya salah dipahami di Aceh. Begitu kita sebut seni budaya, alam pikiran orang langsung terbayang tarian ranup lampuan, tari seudati, pertunjukan rapai atau tari saman. Kesalahan pemahaman tersebut terjadi karena saat pemerintah menggelar acara seni menyebutnya pertunjukan ‘seni budaya’ dan tidak ada dari penyelenggara itu yang menjelaskan arti budaya, seni, kebudayaan atau peradaban.

Kekeliruan pemahaman tersebut harus kita perbaiki bersama. Budaya adalah cara hidup sebuah bangsa atau kelompok masyarakat yang diwariskan turun temurun. Budaya menyangkut semua hal, seperti agama, cara mencari nafkah, cara berkomunisasi dan semacamnya.

Belum majunya gerakan kebudayaan di Aceh karena beberapa faktor, di antaranya kesalah pahaman tadi, yang mengakibatkan tidak adanya budayawan sejati di Aceh. Belum ada seorang pun yang pantas disebut budayawan di Aceh, namun secara spesifik ada beberapa orang yang bisa disebut seniman, penulis, pelukis dan semacamnya.

Aceh perlu tokoh penggerak dan pembangun budaya di zaman ini, kebudayaan dan peradaban adalah kunci dari nilai masa depan untuk aceh masa kini. Jika ada orang yang berani menghadirkan dirinya sebagai penggerak dan pembangun kebudayaan dan peradaban di zaman ini, maka ia harus melawan paradigma kuno tentang seni budaya dan harus sedikit radikal.

Sultan Riau Pulau Penyengat Di Tanjungpinang

Penelitian ini dilakukan karena ketertarikan Penulis terhadap akulturasi yang terjadi pada interior Mesjid Sultan Riau di Pulau Penyengat yang didirikan oleh Yang Dipertuan Muda Raja Abdul Rahman (1831-1844 M) pada hari raya Idulfitri 1 syawal 1248 H (1832 M). Interior mesjid berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya masyarakat Melayu Penyengat. Melihat letaknya Penyengat termasuk dalam akar budaya Melayu pesisir yang mengandalkan sektor perdagangan sebagai penunjang perekonomiannya, akses untuk berhubungan dengan dunia luar mengakibatkan adanya kontak budaya. Kontak budaya melalui perdagangan membuka jalan terjadinya percampuran kebudayaan. Hubungan yang semula sekedar hubungan perdagangan akhirnya berkembang menjadi hubungan yang saling mempengaruhi antar budaya masing-masing, terjadilah proses akulturasi budaya yang pada akhirnya ikut membentuk budaya Melayu Penyengat. Akulturasi budaya ini tidak hanya terbatas pada nilai-nilai dan pengetahuan saja, tetapi juga berpengaruh kepada artefak budayanya.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan estetis. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan pendekatan studi kepustakaan dan lapangan melalui survei langsung dilapangan dan wawancara. Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisa data model interaktif yang terdiri dari beberapa tahap, antara lain: pengumpulan data, reduksi data, analisa data dan penarikan kesimpulan. Ketiga tahap tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi pada proses analisa data hingga menemukan kesimpulan yang sesuai dengan rumusan permasalahan penelitian.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa interior Mesjid Sultan Riau merupakan percampuran dari budaya lokal dan berbagai pengaruh interior yang datang ke Indonesia. Hal ini disebabkan oleh sifat budaya Melayu yang terbuka. Masyarakat Penyengat yang sebagian besar pemeluk Islam, ternyata masih menjalankan tradisi budaya lama sebelum Islam masuk, yaitu animisme-dinamisme dan Hindu-Budha. Disamping itu, sifat masyarakat pesisir yang terbuka juga lebih cenderung untuk menerima budaya yang datang dari luar seperti budaya dari Turki, Persia, India, Arab, Cina, dan Jawa. Hal ini berimbas pada perwujudan interior. Selain terjadinya akulturasi, konsep perancangan interior Mesjid Sultan Riau berdasarkan atas pertimbangan aktivitas ritual yang sesuai dengan ajaran Islam. Demikian juga orientasi ruang interior yang bersumbu (garis) dari Timur ke Barat atau mengarah kiblat.

Adat dan Budaya Palembang (Pemberian Gelar Datuk)

Menyoal fenomena adanya rencana Lembaga Adat Sumatera Selatan memberikan gelar Datuk Pengayom Seri Setia Amanah kepada Bapak Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka lounching Visit Musi 2008 pada 5 Januari 2008 mendatang yang merupakan kali kedua Lembaga Adat Sumatera Selatan mengatas namakan masyarakat adat Sumatera Selatan memberikan gelar, setelah sebelumnya pada 16 November 2007 lalu, Sri Sultan Hamengkubuwono X dianugerahi gelar Datuk Pengayoman Seri Wanua oleh Lembaga Adat Sumatera Selatan.Pemberian gelar adat merupakan salah satu bentuk manifestasi masyarakat adat suatu tempat dalam bersopan santun. Dan sudah sewajarnya dalam menerima tamu, kita senantiasa mengindahkan dan menghormati tamu dengan tata cara adat sopan santun yang mencakup tata krama dan adat istiadat setempat yang masih lazim berlaku.

Adat sopan santun menerima tamu tercermin dari cara berpakaian, cara menyapa, cara menerima tamu, dan sebagainya, termasuk seremoni pemberian gelar adat kalau memang dikehendaki. Namun khusus pemberian gelar adat ini, timbul seribu satu pertanyaan, sejauh mana kapasitas dan kapabilitas suatu lembaga adat seperti Lembaga Adat Sumatera Selatan dapat memberikan anugerah gelar adat kepada seseorang. Apakah Lembaga Adat Sumatera Selatan tersebut sudah betul-betul representativ mengeluarkan dan memberikan gelar-gelar adat untuk mengatasnamakan masyarakat adat setempat yang realitasnya sangat beragam dan kaya etnisitas seperti Sumatera Selatan. Sementara pemberian gelar-gelar adat seperti yang telah dilakukan dan akan dilakukan kembali oleh Lembaga Adat Sumatera Selatan disinyalir sangat mengada-ada dan di luar tradisi normal.

Ironisnya referensi penamaan gelar yang diberikan nyaris sama sekali tidak menggambarkan dan tidak mencerminkan identitas sepenuhnya akan nilai-nilai kesatuan adat istiadat yang ada dan masih terpelihara secara baik di Sumatera Selatan. Sehingga terkesan, tindakan dan perlakuan Lembaga Adat Sumatera Selatan yang telah berani memberikan gelar-gelar adat kepada tokoh-tokoh nasional sekaliber Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sultan Hamengkubuwono X dan tidak menutup kemungkinan kepada tokoh-tokoh masyarakat lainnya dikemudian hari, sesungguhnya sudah sangat jauh melampaui fungsi dan peran utamanya sebagai Lembaga Masyarakat Adat Sumatera Selatan. Sekalipun hal tersebut tidak sepenuhnya dapat di persalahkan, namun tetap saja diluar tradisi dan kelaziman, bahkan cenderung terlalu mengada-ada.

Sultan Ternate gandeng Portugal gelar "Legu Gam"

Pemerintah Indonesia melalui Kesultanan Ternate bekerja sama dengan pemerintah Portugal mengadakan Kongres Legu Gam atau pesta rakyat Moloku, Kie Raha, di Ternate, Maluku Utara, mulai 2-16 April 2011. Diperkirakan, pesta rakyat tahunan ini, minimal mendatangkan 20 ribu wisatawan domestik dan luar negeri. Legu Gam berpotensi menghidupkan industri kecil dan menengah di Maluku Utara.

"Ini salah satu upaya kami untuk menarik lebih banyak kunjungan wisatawan ke Ternate," kata  Permaisuri Kesultanan Ternate yang juga anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Boki Ratu Nita Budhi Susanti, di Jakarta, Jumat (18/3).

Penggagas Legu Gam itu menjelaskan, penyelenggaraan pesta rakyat Legu Gam bertujuan untuk mempromosikan pariwisata dan potensi wisata di Maluku Utara (Malut). Malut memiliki banyak tujuan wisata yang potensial untuk ditawarkan kepada wisatawan baik domestik maupun mancanegara.

Seperti tahun sebelumnya, Legu Gam melibatkan pemerintah Portugal untuk mendatangkan warga Portugal ke pesta rakyat tersebut. Sebab, dari 27 suku di Ternate, satu di antaranya suku Portugis. "Suku ini juga punya kekayaan budaya berupa tarian dan tercatat dalam kekayaan budaya Indonesia berasal dari Ternate," ujar Boki Ratu.

Menurut dia, Portugal dan Ternate punya hubungan sejarah yang erat. Hingga sekarang ini, banyak tarian Ternate dan Portugal yang memiliki kesamaan. "Dengan Portugis (sekarang Portugal), kita memang punya hubungan erat sekali. Banyak tarian dan seni yang mirip," kata Boki. Legu Gam merupakan pesta rakyat masyarakat Ternate yang sudah diselenggarakan secara rutin dalam tujuh tahun terakhir, untuk memeriahkan ulang tahun Sultan Ternate yang tahun ini untuk yang ke-76.

Kasihan, Kesultaan Deli Tak Diperhatikan

Kesultanan Deli tidak pernah memperoleh hak-hak protokoler dan keuangan dari pemerintah, padahal siapa bisa memungkiri jika Kota Medan dan sekitarnya dulunya "milik" kesultanan ini.
Pemerintah dari level terendah sampai tertinggi tidak ada perhatian, bahkan tidak peduli pada Kesultanan Deli walau banyak asetnya yang dibangga-banggakan kepada orang asing, kata O.K. Saidin, SH di Medan.

Penasihat Sultan Deli itu mengatakan, Istana Maimoon, Mesjid Raya dan Tembakau Deli selalu "dijual" pemerintah dan dunia swasta kepada wisatawan dalam dan luar negeri, tetapi mereka tidak pernah ingat memberi kontribusi satu sen pun. Saidin menambahkan, jangankan memberikan sesuatu secara institusional, bahkan pemerintah secara langsung atau tidak langsung telah "menggerogoti" kekayaan Sultan Deli berupa Tanah HGU PTPN II.

Hak-hak atas tanah itulah yang terus diperjuangkan Kesultanan Deli hingga dewasa ini, termasuk beberapa lahan yang berlokasi di dalam Kota Medan yang sudah dikuasai pihak lain, ujarnya.

Ia mengakui bahwa pihak Kesultanan Deli tidak pernah memohon atau memperjuangkan untuk mendapatkan hak-hak protokoler dan keuangan itu, karena jangankan memberi apa yang dimiliki, kesultanan ini saja sudah "dirampok" pemerintah. Menurut dia, hak-hak tradisional atau budaya yang dimiliki Kesultanan Deli seyogianya bisa diperjuangkan anggota DPRD dan DPR, tetapi sayang tidak ada anak Melayu Deli yang jadi anggota DPR.

Hak-hak semacam itu atau dalam bentuk lain sudah dinikmati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang memperoleh dana yang bersumber dari APBD maupun APBN, katanya. Seandainya pemerintah memberikan hak-hak protokoler dan keuangan, menurut dia, tentu akan sangat bermakna sekali bagi Kesultanan Deli dalam upaya melestarikan budaya Melayu Deli.