Sabtu, 09 Juli 2011

Struktur Pemerintahan dan Kekuasaan Kesultanan Buton

Konsep kesultanan dikenal dalam sejarah sesudah masuknya Islam. Sebutan sultan diadopsi dari negeri-negeri Arab atau Timur Tengah untuk raja yang dikenal sebelumnya. Sultan pertama yang merupakan raja kelima Kesultanan Butun adalah Lakilaponto yang kemudian bergelar Sultan Qaimuddin (artinya peletak Agama).


Pembentukan Kesultanan Buton (Butuni) didasarkan atas nilai tradisi lokal dan ajaran Islam. Pelapisan masyarakat di kesultanan terdiri atas 4 lapis yaitu: kaomu, walaka, papara dan batua. Kaomu adalah golongan yang dianggap keturunan langsung dari Wa Kaa Kaa, raja pertama (perempuan) yang memerintah sebelum Islam. Golongan ini dianggap lebih asli dibanding yang kedua, walaka yang sudah bercampur dengan keturunan mubaligh dari Arab: Abdul Wahab dan Sharif Muhammad. Dari golongan kaomu inilah sultan dipilih. Sedangkan walaka bertugas memelihara undang-undang (sara). Papara adalah rakyat biasa, sedangkan batua adalah orang yang bergantung kepada orang lain apakah sebagai budak atau karena berhutang.

Sarana Wolio yang digali dari Martabat Tujuh berisi sifat kemanusiaan kemudian diperbaharui oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin menjadi Sara Pataanguna (Adat Yang Empat). Keempat sara itu adalah: (1) Sara Wolio sebagai pusat pemerintahan; (2) Sara Hukumu sebagai pusat pelaksana kegiatan dari Hukum Islam (3) Sara Barata sebagai wilayah yang diberi kuasa untuk melaksanakan pemerintah sendiri (otonom), khusus yaitu: (a) Barata Kaledupa (b) Barata Kulisusu; (c) Barata Tiworo; sedangkan otonomi yang seluas-luasnya adalah (d) Barata Wuna (Muna). Struktur pemerintahan dan kekuasaan Kesultanan Butuni itu diproyeksikan ke dalam bentuk perahu barata. Barata dalam bahasa Wolio adalah perahu bercadik ganda dengan empat simpul penguat yang diidentifikasikan pada dua kerajaan di bagian barat: Tiworo dan Muna sedangkan di bagian timur Kulisusu dan Kaledupa (Muchir, 2003: 144-145).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar